KIAT Guru Works to Mediate Between Schools and Communities


Setiap enam bulan, para guru dan anggota KPL SDI Hawir mengevaluasi janji layanan yang telah disepakati dengan meninjau implementasinya.
Janji ini kemudian dapat diubah sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan. (TNP2K/Fauzan Ijazah)

Pertemuan antara guru-guru dan anggota Kelompok Pengguna Layanan (KPL) SDI Hawir di Desa Nggilat, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, yang diadakan bulan Agustus 2017 berubah menjadi adu argumen yang cukup panas. 

Para anggota KPL, yang terdiri dari orang tua murid dan tokoh masyarakat, baru saja selesai mempresentasikan hasil tes cepat untuk melihat kemampuan Bahasa Indonesia dan Matematika murid, setelah program rintisan KIAT Guru diimplementasikan sejak April 2017 bulan di sekolah tersebut.

Program rintisan KIAT Guru merupakan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan dan lima pemerintah kabupaten PDT, salah satunya Manggarai Timur. Diimplementasikan oleh Yayasan BaKTI, dengan dukungan teknis dari World Bank dan pembiayaan dari Pemerintah Australia dan USAID, KIAT Guru bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di daerah sangat tertinggal melalui pemberdayaan masyarakat dan pengaitan pembayaran Tunjangan Khusus Guru dengan kehadiran guru atau kualitas layanan guru.

Tes cepat yang dilakukan terhadap 30 siswa SDI Hawir menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan studi awal pengukuran kemampuan belajar sebelum program diimplementasikan. Jumlah murid yang memiliki kesulitan dalam numerasi dan literasi telah menurun dan beberapa siswa tercatat memiliki kemampuan sesuai dengan tingkat kelasnya.

Meski ada kemajuan, hasil tes cepat menunjukkan masih ada siswa kelas V yang tidak bisa membaca, sedangkan studi awal memperlihatkan seluruh siswa lancar membaca. Fasilitator KIAT Guru Pansbert Chrispierco Bunga mengatakan bahwa karena soal yang diberikan saat studi awal dan tes cepat adalah dalam pilihan ganda, mungkin siswa bisa menjawab dengan benar di survei pertama tapi memberikan jawaban yang salah saat tes cepat. Situasi ini menciptakan keributan di antara KPL dan guru, karena kedua pihak jadi saling menyalahkan.

“Bagaimana bisa anak kelas V belum dapat membaca? Saya jadi mempertanyakan kapasitas para guru di sini. Mungkin akan lebih baik kalau sekolah menunjuk guru yang lebih cakap untuk kelas I, jadi kemampuan dasar siswa lebih kuat,” kata seorang anggota KPL.

Beberapa guru menjadi defensif dan mengatakan bahwa para orang tua seharusnya tidak sepenuhnya membebankan tanggung jawab pendidikan anak pada guru.

“Jangan salahkan kami karena kami ditunjuk oleh pemerintah. Orang tua seharusnya juga terlibat dalam mendidik anak-anaknya, membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah misalnya,” kata seorang guru.

Kepala Sekolah Damasus Jowan mengatakan ia bangga dengan kemajuan para siswa dan meminta agar peserta pertemuan mencari solusi.

“Bagaimana mungkin orang tua membebankan semua tanggung jawab pada guru? Tugas guru ada batasnya, tolong jangan melemparkan kesalahan kepada kami,” ujarnya.

Setelah melewati perdebatan panjang, KPL dan para guru berkesimpulan bahwa permasalahan ada di siswa yang kesulitan menerima materi pelajaran. Pansbert dari KIAT Guru, yang awalnya membiarkan kedua pihak mencari solusi sendiri, segera menimpali, mengatakan bahwa saling menyalahkan, terutama menyalahkan anak-anak tidak akan menyelesaikan isu yang ada.

“Bila hasilnya tidak memuaskan, mari kita cari solusi di luar apa yang telah kita sepakati,” katanya.

 

Mediasi
KIAT Guru memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan akuntabilitas guru dengan menyepakati lima hingga delapan indikator layanan untuk meningkatkan suasana lingkungan belajar mengajar. Di beberapa sekolah tempat program rintisan, keterlibatan masyarakat dikombinasikan dengan pembayaran tunjangan sesuai dengan kinerja guru, yang didasarkan dari penilaian yang diberikan KPL terhadap kehadiran atau kinerja layanan guru. Terdiri dari sembilan orang – enam orang tua murid dan tiga tokoh masyarakat, anggota KPL dipilih oleh orang tua dan anggota masyarakat.

Para anggota KPL datang bergantian ke sekolah dan memantau proses belajar mengajar. Seorang anggota KPL di Desa Nggilat, Maria Fransiska Di mengatakan, ada tiga metode yang mereka lakukan dalam mengevaluasi guru: datang langsung ke sekolah, pengecekan dokumen dan wawancara dengan siswa.

Tiap bulan, mereka memaparkan proses penilaiannya dalam pertemuan dengan pihak sekolah. Seringkali hasilnya menimbulkan banyak perdebatan antara KPL dan para guru, yang terkadang merasa para anggota KPL tidak melakukan tugasnya dengan baik, namun hasil evaluasi merka dapat mempengaruhi besaran tunjangan guru yang diterima.

Kader KIAT Guru yang bekerja sama dengan KPL di Desa Kaju Wangi di kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Manggarai Timur, Andreas Jemahang, mengakui bahwa para orang tua murid awalnya tidak percaya diri dalam menilai guru.

“Kami tidak percaya diri karena kami cuma petani dan kami harus mengawasi serta menilai guru-guru yang lulusan sarjana. Tapi kami selalu diberi semangat supaya jangan ragu,” katanya.

 


Anggota KPL membacakan hasil Formulir Layanan Guru, sebuah formulir sederhana yang terdiri hingga tujuh janji layanan.
Hasilnya diumumkan lewat pertemuan antara guru dan KPL yang diadakan setiap bulan. (TNP2K/Fauzan Ijazah)

KPL juga memantau masyarakat, khususnya orang tua, dan mengingatkan mereka untuk terlibat dalam meningkatkan kemampuan akademik anak-anaknya.

Di luar perdebatan yang ada, para guru dan masyarakat sepakat bahwa KIAT Guru telah menyatukan mereka lewat tujuan bersama, yaitu untuk memberikan kualitas pendidikan yang terbaik untuk anak-anak mereka.

“Kami sebagai orang tua awalnya tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di sekolah, karena kami menganggap ada guru yang mengatur. Dengan KIAT Guru, kami diingatkan bahwa kemampuan anak-anak kita kebanyakan jauh di bawah standar. Sekarang, kinerja guru pun jauh lebih baik dan telah terbangun komunikasi antara guru dan orang tua murid,” kata Maria Fransiska Di dari Desa Nggilat.

 


Di KIAT Guru, para orang tua diajak untuk ikut terlibat dalam pendidikan anak-anak, salah satunya dengan menyediakan
area belajar di rumah atau membantu mereka bersiap-siap ke sekolah di pagi hari. (TNP2K/Fauzan Ijazah)

Guru di SDI Hawir Benediktus Roni mengatakan, KIAT Guru memberikan wadah mediasi bagi KPL dan guru untuk membahas dan dan menyelesaikan masalah bersama.

“Lewat kesepakatan antara sekolah dan masyarakat, kini orang tua dan guru jadi lebih sadar akan tanggung jawab mereka,” katanya.

Guru Agama Quintus Kalis mengatakan, KPL telah melakukan tugasnya dengan baik dalam memantau guru dan ia yakin lewat keterlibatan KPL, kualitas pendidikan di sekolah akan meningkat.

“KIAT Guru telah meningkatkan profesionalisme guru di sini. Program ini telah membuat ‘flu’ hilang dan kami tidak pernah absen sakit lagi,” candanya, dengan menambahkan bahwa dulu banyak guru yang tidak masuk ke sekolah karena alasan sakit flu. “Sekarang kami lebih sehat dan tingkat kehadiran kami sempurna.”

 


Suasana belajar di SDI Hawir di Desa Nggilat, Kabupaten Manggarai Barat. (TNP2K/Fauzan Ijazah)

Kembali ke hasil tes cepat, KPL dan para guru memutuskan untuk mengubah janji layanan mereka di pertemuan seminggu setelahnya. Mereka menambah janji layanan dengan akan mengadakan kelas siang, mengganti upacara bendera dengan sesi belajar khusus, dan melakukan sesi penyegaran materi selama 15-20 menit di pagi hari. Janji layanan ini akan dievaluasi setiap bulan dan disesuaikan kembali setiap satu semester.