Waktu baru menunjukkan pukul 06.30 pagi, satu jam sebelum sekolah dimulai di SD YPK Pikere di Dusun Ujung Karang, desa terpencil di Kabupaten Keerom, Papua. Dua orang Ibu, Susi dan Eta, Ibu Rumah Tangga masing-masing berusia 40-an dan 20-an, berjalan menuju gedung sekolah. Ibu Susi memegang sebuah termos besar berisi teh panas pada satu tangan dan sebuah tas berisi nasi kuning dan kudapan pada tangan yang lain. Dia adalah penjaga rutin sebuah kantin kecil di sekolah tersebut. Kedua wanita tersebut mulai mengatur meja diluar ‘Ruang Guru’. Sementara Ibu Susi membereskan kudapan dan termosnya di salah satu sisi meja, Ibu Eta mengeluarkan sebuah buku harian guru berukuran besar, bersama dengan pulpen dan menempatkannya dihadapannya dan duduk tepat disebelah Ibu Susi. Buku harian tersebut digunakan untuk mencatat waktu kedatangan dan kepulangan setiap guru di SD YPK Pikere.
Adapun yang menjadi perhatian dari persiapan pagi hari sebelum sekolah ini adalah bahwa tidak satupun guru maupun kepada sekolah yang terlihat. Hanya pada pukul 7.55 pagi, yaitu 25 menit setelah jadwal kelas yang seharusnya dimulai, baik kepala sekolah maupun salah satu guru dari empat orang guru di sekolah, terlihat. Ibu Eta dan Ibu Susi menatap lurus ke arah kepala sekolah dan guru tersebut – seakan ada perintah tak terucap bagi mereka untuk melapor kepada kedua wanita tersebut. Ibu Susi menuliskan waktu kedatangan mereka di buku harian sedangkan kepada sekolah dan guru tersebut menandatanganinya. Ketiga guru lain datang lebih dari satu jam kemudian pada pagi itu. Keterlambatan mereka kemudian dicatat sesuai dengan waktu kedatangannya oleh Ibu Susi. Gambar ini menunjukkan pemantauan harian terhadap kehadian guru yang dilakukan secara ketat oleh anggota masyarakat di SD YPK Pikire.
.
Ibu Susi, orang tua murid dan juga anggota Komite Pengguna Layanan, sedang mencatat waktu kedatangan guru di SD YPK Pikere |
Ketidakhadiran guru adalah masalah utama di banyak sekolah di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Baik orang tua dan anggota masyarakat di sekolah ini tidak mendapatkan dukungan yang semestinya untuk mengatasi masalah tersebut. Inilah alasan Kinerja dan Akuntabilitas Guru (KIAT Guru) bekerja untuk membangun kapasitas anggota masyarakat dalam meningkatkan akuntabilitas guru dalam kinerja pelayanan sekaligus dalam tugas-tugas lain untuk mendukung murid dalam belajar.
SD YPK Pikere merupakan salah satu kajian partisipasi sekolah yang secara acak ditempatkan pada kelompok intervensi D dimana kualitas pelayanan guru akan dinilai setiap bulan oleh masyarakat. Penilaian didasarkan pada apa yang disebut sebagai Kartu Penilaian Masyarakat yang secara bersama dikembangkan oleh sekolah dan anggota masyarakat, termasuk didalamnya: (1) guru hadir pada pukul 07.30 dari Senin hingga Sabtu, (2) guru memberikan pekerjaan rumah kepada murid 3 kali dalam seminggu, (3) guru mengadakan komunikasi rutin dengan orang tua, dan (4) guru tidak memukul, berteriak atau mencubit murid-murid mereka. Jumlah insentif guru akan dibayar berdasarkan penilaian yang didapatnya dari masyarakat.
Disamping pemantauan terhadap guru, orang tua dan masyarakat juga harus melakukan bagian mereka dalam meningkatkan pembelajaran anak-anak mereka. Ini termasuk tanggung jawab terhadap: (1) membantu guru dalam menegakkan tugas-tugasnya, (2) membantu anak-anak belajar di rumah, (3) mempersiapkan anak-anak mereka berangkat ke sekolah (sebagai contoh: memberikan sarapan, memandikan), dan (4) membawa anak-anak mereka ke sekolah dan tiba pukul 07.30 pagi.
Guru, bagaimanapun masih khawatir terhadap keterlibatan masyarakat. Ibu Eta terlibat dalam ‘perseteruan’ dengan dua orang guru yang meninggalkan kelas lebih awal dari yang dijadwalkan dan juga menolak pencatatan waktu kepulangannya. Dengan tidak menyenangkan dia mencela “kamu pikir saya mau melakukan ini? Saya masih punya hal lain yang harus dilakukan di rumah. Tapi ini demi kebaikan anak-anak kita…”
Meskipun demikian, karena kegigihan Komite Pengguna Layanan, SD YPK Pikere telah mengalami beberapa perubahan dan perbaikan, sebagaimana yang diamati oleh anggota masyarakat dan tim KIAT GURU. Ibu Susi dan anggota masyarakat lain menyatakan bahwa meskipun beberapa guru masih terus datang terlambat dan/atau pulang lebih awal dari yang dijadwalkan, tingkat kehadiran mereka di sekolah mengalami peningkatan dibandingkan sebelum adanya keterlibatan KIAT GURU. Sebagai contoh, kepala sekolah yang dulu hanya hadir di sekolah pada hari Senin sekarang hadir paling tidak seminggu tiga kali. Guru-guru yang berencana tidak hadir pada keesokan harinya melapor kepada masyarakat dan memberikan alasan ketidakhadiran mereka. Sebagai tambahan, ketika guru-guru menghukum muridnya secara fisik, anggota masyarakat memiliki keberanian yang lebih besar dalam menghadapi guru-guru tersebut.
Ibu Eta (tengah) dan Ibu Susi (kanan) didampingi oleh orang tua (kiri): Anggota Komite Pengguna yang bertugas di SD YPK Pikere |
Orang tua dan anggota masyarakat sekarang bekerja sama untuk memastikan bahwa murid-murid dibawa ke sekolah dan datang tepat waktu. PT Rajawali, perusahaan minyak kelapa sawit yang bekerja di desa, sekarang meminjamkan mobil mereka untuk menjemput murid-murid yang tinggal jauh dari sekolah atau tinggal di desa lain untuk dibawa dari dan ke sekolah.
Kisah Ibu Susi, Ibu Eta dan kisah lain dari Dusun Ujung Karang dan komitmen mereka untuk bekerja sama dengan guru-guru dalam memastikan kualitas pendidikan dan pelayanan pendidikan di SD YPK Pikere hanyalah contoh kecil yang menunjukkan betapa penting dan bermanfaatnya keterlibatan masyarakat dalam menjaga akuntabilitas sekolah dan menjamin murid-murid menerima pendidikan yang layak.
✭ ✯ ✰ ✱ ✲ ✳ ❃ ❂ ❁