The Urgency of Gender Equality in the Social Insurance for Employment Program

02 June 2022


Wapres

Sebagai upaya untuk memperbaiki dan memperluas cakupan perlindungan sosial bagi seluruh kelompok masyarakat melalui program jaminan sosial ketenagakerjaan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) didukung program kemitraan Australia-Indonesia untuk perlindungan sosial dan inklusi (MAHKOTA) mengadakan webinar yang berjudul, “Mendorong Kesetaraan Gender dalam Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.” Webinar yang diselenggarakan pada Rabu, 11 Mei 2022 ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya perlindungan sosial yang responsif gender, dengan fokus pada program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Suprayoga Hadi, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K dan Kirsten Bishop, Minister Counsellor Governance and Human Development Branch, Kedutaan Besar Australia di Indonesia berkesempatan untuk memberikan sambutannya pada webinar ini. Dalam sambutannya, baik Suprayoga maupun Kirsten menegaskan bahwa aspek gender sangat penting untuk dipertimbangkan dalam menyusun strategi untuk memperluas jangkauan perlindungan sosial yang adil dan inklusif terutama kepada perempuan.

Webinar yang dihadiri oleh lebih dari 150 peserta ini dimoderatori oleh Sinta Ratna Dewi, Senior GESI Adviser MAHKOTA dan mengundang para pembicara yaitu Manajer Program Perlindungan Sosial, International Labour Organization (ILO) Ippei Tsuruga, Spesialis Kebijakan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Sekretariat TNP2K Resmi Setia Milawati, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini, dan Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian PPN/Bappenas Muhammad Cholifihani. Para pembicara tersebut memberikan pandangan dari sisi pemerintah maupun non pemerintah mengenai kebijakan dan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang berperspektif gender.

Gambar: Para Pembicara dalam Kegiatan webinar

Sumber: Dokumentasi Kegiatan

Kajian TNP2K menunjukkan bahwa kesenjangan gender dalam ketenagakerjaan di Indonesia salah satunya terlihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). TPAK perempuan, meskipun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, jauh lebih rendah dari TPAK laki-laki, yaitu 53,1% (perempuan) dibanding 82,4% (laki-laki) berdasarkan Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS pada 2021. Selain itu, kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan, baik di sektor formal maupun informal pun masih terjadi. Kesenjangan upah yang paling mencolok ditemukan pada sektor informal, dimana rata-rata upah yang diterima pekerja perempuan hanya sekitar 45% dari upah pekerja laki-laki (Sakernas, 2020).

Tingkat kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan untuk perempuan yang mayoritas berada di segmen bukan penerima upah pun masih terbatas. Partisipasi program jaminan sosial ketenagakerjaan masih didominasi oleh pekerja laki-laki dan segmen penerima upah. Karena kesenjangan-kesenjangan tersebut, kondisi perempuan, terutama yang bekerja di sektor informal termasuk pekerjaan di ranah domestik, baik yang dibayar maupun tidak dibayar menjadi sangat rentan. Berbagai kesenjangan gender tersebut mengakibatkan meningkatnya potensi kemiskinan dan kemiskinan ekstrem pada perempuan. Hal ini dibuktikan oleh proporsi penduduk perempuan miskin lebih banyak dibanding laki-laki selama tahun 2015-2020 (Susenas BPS, 2020).

Keikutsertaan perempuan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia masih terbilang rendah. Data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2021 menyebutkan bahwa hanya sekitar 36% (8,6 juta) perempuan yang menjadi peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Resmi Setia Milawati menyampaikan bahwa terdapat sejumlah penyebab rendahnya kepesertaan perempuan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia yaitu masalah struktural dalam pasar tenaga kerja, kelemahan dalam rancangan dan implementasi program dimana rancangan program jaminan sosial ketenagakerjaan masih netral gender yaitu belum mempertimbangkan perbedaan kondisi, posisi, dan kebutuhan perempuan dan laki-laki, hambatan sosial dan budaya yaitu norma gender yang diskriminatif dan pembatasan mobilitas terhadap perempuan, perempuan yang kerap diposisikan sebagai penanggungjawab ranah domestik karena fungsi reproduksinya, serta konsep kerja/pekerja yang digunakan membuat perempuan yang berhenti bekerja untuk melakukan kegiatan perawatan (care work), seperti ibu rumah tangga (mengurus anak, keluarga dan lansia) karena tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan. Selain itu, perempuan yang bekerja sebagai pekerja informal – tak terkecuali PRT, belum diakui secara penuh keberadaannya di Indonesia sehingga tidak termasuk kedalam kelompok pekerja bukan penerima upah.

Ippei Tsuruga dari ILO menyampaikan penyebab lain kepesertaan perempuan rendah pada jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, yaitu skema perlindungan hari tua yang belum universal dan skema manfaat pada masa kehamilan yang terbatas seperti terkait cuti hamil-melahirkan dan tunjangan masa kehamilan. Ippei juga mengusulkan agar skema perlindungan hari tua dapat dibuat lebih universal dan lebih ditingkatkan terutama terkait tunjangan serta skema manfaat masa kehamilan bisa diperbaiki dan dikembangkan lagi.

Lita Anggraini dari JALA PRT, membandingkan program jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia dengan Filipina. Dimana Filipina telah memiliki skema perlindungan sosial untuk PRT yang lebih baik karena telah dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini senada dengan hasil temuan Resmi Setia yang membandingkan program jaminan sosial di Norwegia, Perancis, dan Uruguay dengan Indonesia – yang membuktikan bahwa manfaat program jaminan sosial di Indonesia, masih kurang jika dibandingkan dengan ketiga negara tersebut. Lita juga mengusulkan perlunya dibuat peraturan perundangan yang mengikat seperti UU Perlindungan PRT untuk memenuhi kebutuhan kepesertaan PRT.

Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional disampaikan oleh Muhammad Cholifihani selaku Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian PPN/Bappenas, dimana menurutnya masih memerlukan penajaman aspek gender dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Cholifihani juga menambahkan bahwa dalam reformasi jaminan sosial sampai dengan tahun 2024 terkait long term care dan skema manfaat masa kehamilan sudah dipikirkan dan diinventarisasi yang mana sedang menunggu persetujuan pemerintah pusat. Namun, Undang-Undang Jaminan Sosial juga masih ada yang perlu diperbaiki dan akan memakan waktu dalam perbaikannya karena termasuk peraturan besar, Sehingga saat ini lebih baik melakukan identifikasi, kajian, dan hal lain yang bisa kerjakan terlebih dahulu sembari menunggu regulasi dan keputusan penerapannya.

Webinar ini ditutup oleh Sri Kusumastuti Rahayu selaku Ketua Tim Kebijakan Perlindungan Sosial, Sekretariat TNP2K dengan menegaskan kembali pentingnya perbaikan dan perluasan pada sistem jaminan sosial yang mendorong kesetaraan gender dan inklusi sosial terutama pada pekerja rentan dan perempuan, disabilitas, dan lansia. Sehingga dapat mengurangi kemiskinan dan kemiskinan ekstrem. Sri juga berharap agar kedepannya K/L dapat berkolaborasi dan berdiskusi untuk mencari alternatif dan memberikan akses kepada pekerja rentan terutama perempuan, disabilitas, pekerja sektor informal, dan unpaid workers.