Diskusi Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

20 November 2015


Wapres

Menindaklanjuti Rapat Kerja Teknis Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (Rakertek TKPK) yang diselenggarakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 4 – 11 November 2015 lalu, Bappeda Kota Depok mengundang TNP2K dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Koperasi Lembaga Keuangan Mikro.”

FGD dilakukan pada, Rabu (19/11) menghadirkan narasumber Bagoes Soetarto dan Harry Tjahyadi dari TNP2K beserta Inspektur Bappeda Wilayah Depok, Nova. FGD ini turut dihadiri oleh 63 Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang merupakan perwakilan dari setiap kelurahan atau kecamatan yang ada di Kota Depok.

Dalam paparannya Harry Tjahyadi menyampaikan,“Dana Bergulir Masyarakat (DBM) merupakan usaha pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Berdasarkan data susenas tahun 2014, DBM merupakan andalan kelompok miskin. UU No.1 2013 menyatakan bahwa setiap kegiatan jasa keuangan harus mendapat ijin usaha, termasuk Dana Bergulir Masyarakat seperti yang dijalankan oleh UPK, oleh karena itu, Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) sebagai bagian dari BKM yang mengelola DBM harus memiliki badan hukum yang jelas untuk mendapatkan ijin tersebut. Opsi badan hukum yang dapat dipilih diantaranya adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi LKM dan PT LKM. LKM sendiri merupakan lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan simpan pinjam dan jasa konsultasi usaha,” jelasnya.

Beliau juga menjelaskan bahwa Unit Pelaksanaan Kegiatan (UPK) yang telah berbadan hukum memiliki beberapa manfaat yaitu melindungi aset dan mengurangi potensi penyalahgunaan, memastikan keberlanjutan pelayanan keuangan mikro bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan membuka peluang kerjasama dengan lembaga lain, baik dalam hal pendanaan maupun diversifikasi produk dan layanan. Manfaat lain jika memiliki badan hukum adalah akan mendapatkan pembinaan dan pengawasan dari otoritas terkait (OJK dan Kementerian Koperasi).

Bagoes Joetarto juga menambahkan, yang terpenting sesungguhnya melegalitaskan kegiatan, pasca PNPM, sehingga terdapat 2 fokus kegiatan yaitu i) pengorganisasian masyarakat dan ii) kegiatan pengelolaan dana bergulir di masyarakat. Sesungguhnya upaya untuk pelegalisasian kegiatan dana bergulir masyarakat, dilakukan sejak diterbitkannya Surat Edaran Menkokesra No. B.27/2014 yang di tujukan kepada kementerian untuk memberikan perlindungan hukum kepada kelembagaan masyarakat yang mengelola dana bergulir, namun saat ini Kementerian Kemenkokesra telah berubah nomenklaturnya menjadi Kemenko PMK, oleh karena itu, menggunakan tata aturan yang lebih tinggi dalam hal ini UU.No.1/2013 tentang “Lembaga Keuangan Mikro” menjadi dasar rujukan melakukan proses legalitas kegiatan dana bergulir di masyarakat merupakan hal yang tepat.

Untuk kegiatan dana bergulir masyarakat terdapat 2 pilihan, jika masyarakat memilih melakukan kegiatan simpan pinjam seperti yang saat ini dilakukan, masyarakat dapat menggunakan UU Koperasi yaitu UU.25/1992 maka bentuk badan hukumnya sebagai “Koperasi Simpan Pinjam” dan berada dalam binaan dinas Koperasi. Jika masyarakat menghendaki kegiatan pengelolaan keuangan yang lebih luas dan lebih mandiri, seperti misalnya memberikan bantuan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, pengelolaan tabungan maupun kegiatan jasa keuangan lainnya, dapat menggunakan UU No.1/2013 sebagai rujukannya sehingga bentuk badan hukumnya “Koperasi Jasa Keuangan” dan berada dalam pembinaan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) berikut manfaat/benefit yang diterimanya sebagaimana sudah dijelaskan pada paparan sebelumnya.

Selanjutnya dijelaskan juga, untuk kegiatan yang dilakukan oleh Ormas yang bernama BKM, sebagai rujukan untuk melindungi kegiatannya, pilihannya ada 2 yaitu; berbentuk Perkumpulan atau “Yayasan, kedua kelembagaan tersebut memiliki kesamaan termasuk dapat memiliki unit kegiatan yang bersifat produktif, yang membedakan adalah keanggotaannya serta rujukan peraturan yang menaunginya. Jika memilih bentuk “Perkumpulan” maka penggunaan UU.17/2013 dapat digunakan sebagai rujukannya sedangkan untuk Yayasan maka UU.16/2001 menjadi rujukannya, namun melihat karakteristik BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) yang bersifat terbuka dan merupakan representative masyarakat sebuah kelurahan, maka pemilihan bentuk badan hukum “Perkumpulan” menjadi pilihan yang mendekati karakteristik kelembagaan BKM. Mengenai hubungan antara BKM dan UPK, maka fungsi BKM dapat menjadi Dewan Pengawas bagi UPK, sebagai mana termuat dalam pasal 13 ayat 1 dalam UU.1/2013.