Maternity protection is a form of protection for women to remain able to work without reducing the welfare of themselves and their children and family
Developing A Comprehensive, Inclusive, and Adaptive Social Protection System for All in Indonesia
02 February 2023
Pengurangan kemiskinan ekstrem menjadi agenda prioritas pemerintah. Pada Maret 2020, Presiden Joko Widodo menarget penghapusan kemiskinan ekstrem hingga nol persen bisa dicapai pada tahun 2024. Program pengurangan kemiskinan ekstrem akan diimplementasikan dalam 4 tahap hingga 2024. Berdasarkan data BPS, menarget 10,86 juta jiwa atau 4% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2021). Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yakni 10,54 juta jiwa dan tahun 2019 di angka 9,89 juta di jiwa.
Masyarakat miskin ekstrem menurut Bank Dunia adalah masyarakat dengan paritas daya beli di bawah USD 1,9 per hari atau Rp 11.941 per orang per hari. Dalam konteks ini, penduduk miskin diukur dari konsumsi makanan dan nonmakanan yang didasarkan pada ukuran moneter yang disebut garis kemiskinan (GK).
Sedangkan GK nasional adalah Rp 472.525 per kapita per bulan, yang setara dengan US$2,51 per orang per hari. Berdasarkan ukuran ini, jumlah penduduk yang masuk kategori miskin sebanyak 27,54 juta jiwa atau 10,14 persen dari populasi (Susenas Maret 2021, BPS). Dengan acuan ini, tren peningkatan jumlah penduduk miskin dalam tiga tahun terakhir juga terlihat, di tahun 2020 sebesar 26,42 juta jiwa dibanding tahun 2019 sebesar 25,14 juta jiwa.
Program penghapusan kemiskinan ekstrem ini secara umum dibagi menjadi dua kategori, jangka pendek dan jangka menengah. Program jangka pendek memuat implementasi tahap I, dan program jangka menengah memuat implementasi tahap II, III, dan IV. Program jangka pendek berupa bantuan langsung tunai tambahan. Sedang program jangka menengah berupa pemberdayaan ekonomi masyarakat, penguatan pelaksanaan program pengurangan beban, serta peningkatan kinerja pensasaran melaui perbaikan data kemasyarakatan
Implementasi tahap I telah dilaksanakan dari bulan Oktober hingga Desember 2021. Dalam tahap ini pemerintah menetapkan tujuh provinsi prioritas dengan penduduk ekstrem tertinggi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Dari tujuh provinsi tersebut dipilih masing-masing lima kabupaten/kota, sehingga total berjumlah 35 kabupaten/kota, dengan kemiskinan ekstrem mewakili sekitar 20 persen dari jumlah total nasional atau 2,1 juta jiwa. Di luar 35 kabupaten/kota prioritas, masih ada sekitar 8,3 juta jiwa yang masuk kategori penduduk miskin ekstrem.
Di 35 kabupaten/kota tersebut pengeluaran per kapita rata-rata per bulan keluarga miskin ekstrem berkisar Rp 1,12 juta, atau lebih kecil dibandingkan wilayah nonprioritas, yakni Rp 1,39 juta. Sedangkan tingkat kemiskinan ekstremnya ratarata mencapai 6,23 persen, atau jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah nonprioritas, yakni sebesar 3,53 persen (Susesnas, 2020).
Implementasi tahap II yang dilaksanakan tahun 2022, dengan pemilihan wilayah prioritas yang setidaknya mewakili sekitar 75 persen (7,8 juta jiwa) dari penduduk miskin nasional. Di tahap ini pemerintah menetapkan 25 provinsi prioritas dengan 212 kabupaten/kota. Dari jumlah itu, sebanyak 35 kabupaten/kota adalah wilayah prioritas lama, sedangkan 18 provinsi dengan 177 kabupaten/kota adalah wilayah prioritas baru. Sehingga sampai tahap II ini, masih ada sekitar 2,6 juta penduduk miskin ekstrem di luar 212 kabupaten/kota prioritas yang perlu dientaskan.
Di 212 kabupaten/kota prioritas tahap II pengeluaran per kapita rata-rata per bulan keluarga miskin ekstrem berkisar Rp 1,15 juta, lebih besar dibandingkan wilayah nonprioritas, yakni Rp 1,28 juta (Susesnas, 2020).
Tahap II akan menekankan pada konvergensi program pemberdayaan dan perlindungan sosial, seperti bantuan sosial dan jaminan sosial. Lebih khusus untuk memastikan pemberian bansos pada kelompok miskin ekstrem, pengembangan social registry, dan memastikan pemenuhan layanan dasar kesehatan, gizi, sanitasi, dan lain-lain.
Pemilihan wilayah prioritas penurunan angka kemiskinan ekstrem menggunakan pendekatan penetapan prioritas intervensi berbasis wilayah atau lebih dikenal dengan penargetan geografis. Wilayah prioritas disusun dan ditetapkan dengan menggunakan dua indikator utama, yaitu persentase penduduk miskin ekstrem dan jumlah penduduk miskin ekstrem menurut kabupaten/kota dengan presentase 50:50.
Pendekatan ini diambil dengan pertimbangan sebagai berikut; (1) Jika hanya menggunakan persentase penduduk miskin, konsentrasi wilayah akan berada di Indonesia bagian timur. (2) Jika hanya menggunakan jumlah penduduk miskin, konsentrasi wilayah berada di Jawa. (3) Kombinasi persentase dan jumlah penduduk miskin esktrem merupakan alternatif yang lebih optimal untuk mengatasi kedua masalah tersebut. Indeks yang terbentuk disebut indeks kemiskinan ekstrem.
Dalam penentuan lima kabupaten/kota di setiap provinsi prioritas pada tahap I dirancang dengan pertimbangan angka indeks kemiskinan ekstrem yang tertinggi. Ditambah juga pertimbangan target cakupan 20 persen penduduk miskin ekstrem secara nasional agar bisa segera dilakukan intervensi pada tahap I. Dalam tahap II, intervensi diperluas ke wilayah prioritas yang mewakili setidaknya 75 persen penduduk miskin ekstrem secara nasional.
Penentuan wilayah prioritas bertujuan untuk memfokuskan alokasi sumber daya yang terbatas dan memastikan koordinasi efektif antara pemerintah pusat dan daerah. Catatan dari implementasi tahap I, konvergensi program antar-kementerian/lembaga dan program daerah di 35 kabupaten/kota prioritas 2021 masih perlu diperkuat dengan strategi koordinasi yang baik. Sehingga realisasi bantuan mencapai target yang telah dicanangkan.
Terkait sinergi pemerintah pusat dengan daerah juga ada beberapa catatan yang perlu diperbaiki. Yakni penguatan peran tim koordinasi penanggulangan kemiskinan (TKPK) sebagai pusat koordinasi, konvergensi program/kegiatan, konvergensi data sasaran penerima, dan penguatan kolaborasi dengan sektor nonpemerintah.